Kata ‘lestari’ dapat diartikan sebagai tetap seperti
keadaannya semula, tak berubah atau kekal. Jadi, pelestarian adalah pengelolaan
sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya. Islam sebagai agama samawi terakhir di dunia, di bawa oleh
Nabi Muhammad saw. sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya. Konsekuensinya,
Islam akan dan harus bisa menjawab tantangan-tantangan dari kedinamisan yang
ada di dunia sampai masa akhir nanti (kiamat). Tantangan tersebut dapat berupa
tantangan yang berhubungan dengan tauhid, jinayah maupun muamalah. Walaupun
tantangan dari kedinamisan perjalanan masa dapat terjawab dengan sempurna oleh
Islam, namun banyak kalangan tetap berprasangka, bahwa jalan terbaik
menghilangkan prasangka tersebut adalah harus dijawab secara ilmiah sehingga
pemecahan persoalan terjawab secara objektif (M. Rasjidi, 1976:7).
Dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa manusia diciptakan
sebagai khalifah di bumi. Kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi adalah
dengan menjaga dan mengurus bumi dan segala yang ada di dalamnya untuk dikelola
sebagaimana mestinya. Dalam hal ini kekhalifahan sebagai tugas dari Allah untuk
mengurus bumi harus dijalankan sesuai dengan kehendak penciptanya dan tujuan
penciptaannya.(Harun Nasution, 1992: 542) Tujuan Allah mensyariatkan hukumnya
adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari
kerusakan (mafsadah), baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan
kemaslahatan itulah Abu Ishaq al-Syatibi, Dalam kitab al-Muwâfaqât, membagi
tujuan hukum Islam (maqâshid al-syarîah) menjadi lima hal: 1) penjagaan agama
(hifdz al-dîn), 2) memelihara jiwa (hifdz al-nafs), 3) memelihara akal (hifdz
al-‘aql), 4) memelihara keturunan (hifdz al-nasl), dan 5) memelihara harta
benda (hifdz al-mâl) (Hatim Gazali, 2005). Lebih jauh Yusuf al-Qardlawi dalam
Ri’âyatu al-Bi’ah fi al-Syarî’ati al-Islâmiyyah menjelaskan mengenai posisi
pemeliharaan ekologis (hifdz al-`âlam) dalam Islam adalah pemeliharaan
lingkungan setara dengan menjaga maqâshidus syarî’ah yang lima tadi. Selain
al-Qardlawi, al-Syatibi juga menjelaskan bahwa sesungguhnya maqâshidus syarî’ah
ditujukan untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia, di mana
bila prinsip-prinsip itu diabaikan, maka kemaslahatan dunia tidak akan tegak
berdiri, sehingga berakibat pada kerusakan dan hilangnya kenikmatan
perikehidupan manusia (Fathurrahman Djamil, 1997:94). Dalam konteks ajaran
Islam, jauh sebelum persoalan-persoalan lingkungan hidup muncul dan menghantui
penduduknya, Islam telah lebih dahulu memberi peringatan lewat ayat-ayat
al-Qur'an. Urusan lingkungan hidup adalah bagian integral dari ajaran Islam.
Seorang Muslim justru menempati kedudukan strategis dalam lingkungan hidup yang
diciptakan sebagai khalifah di bumi ini sesuai dengan Surat Al-Baqarah ayat 30
yang berbunyi: وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ……﴿30﴾ "Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seseorang khalifah dimuka bumi" Ayat ini ditafsirkan secara
lebih spesifik oleh Sayyed Hossein Nasr, dosen studi Islam di George Washington
University, Amerika Serikat. dalam dua bukunya “Man and Nature ” dan “Religion
and the Environmental Crisis ”, seperti yg dikutip Alim: “……Man therefore
occupies a particular position in this world. He is at the axis and centre of
the cosmic milieu at once the master and custodian of nature. By being taught
the names of all things he gains domination over them, but he is given this
power only because he is the vicegerent (khalifah.) of God on earth and the
instrument of His Will. Man is given the right to dominate over nature only by
virtue of his theomorphic make-up, not as a rebel against heaven”. Sebagai
khalifah, sudah tentu manusia harus bersih jasmani dan rohaninya. Inilah inti
dari kebersihan jasmani merupakan bagian integral dari kebersihan rohani.
Jelaslah bahwa tugas manusia, terutama muslim/muslimah di muka bumi ini adalah
sebagai khalifah (pemimpin) dan sebagai wakil Allah dalam memelihara bumi
(mengelola lingkungan hidup). Oleh karena itu, dalam memanfaatkan bumi ini
tidak boleh semena-mena, dan seenaknya saja dalam mengekploitasinya.
Pemanfaatan berbagai sumber daya alam baik yang ada di laut, didaratan dan
didalam hutan harus dilakukan secara proporsional dan rasional untuk kebutuhan
masyarakat banyak dan generasi penerusnya serta menjaga ekosistemnya. Allah sudah
memperingatkan dalam surat al'A'raf ayat 56: وَلَا
تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ
رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ ﴿56﴾ " Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi
setelah Allah memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut tidak
diterima dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat
kepada orang-orang yang berbuat baik". (al-A'raf:56) Menyadari hal tesebut
maka dalam pelaksanaan pembangunan sumber daya alam harus digunakan dengan
rasional. Penggalian sumber kekayaan harus diusahakan dengan sekuat tenaga dan
strategi dengan tidak merusak tata lingkungan dan tata hidup manusia. Perlu
diusahakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan bisa menjaga
kelestariannya sehingga bisa dimanfaatkan secara berkesinambungan.(Ali Yafie,
2006: 231) Kita harus bisa mengambil i'tibar dari ayat Allah yang berbunyi: وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آَمِنَةً
مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ
بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا
كَانُوا يَصْنَعُونَ ﴿112﴾ "Dan Allah telah membuat suatu
perumpamaan(dengan) dengan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram
rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi
(penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah karena itu Allah merasakan kepada
mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka
perbuat". (an-Nahl :112) Manusia Indonesia harus sadar bahwa krisis
multidimensi dan bencana yang datang bertubi-tubi seperti tanah longsor,
banjir, kekeringan, kebakaran hutan, tanaman diserang hama dan lainnya adalah
karena ulah manusia itu sendiri. ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي
الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ
الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿41﴾ "Telah nampak kerusakan didarat dan dilaut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Alllah merasakan kepada mereka sebagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali kejalan yang benar".
(QS. ar-Rum: 41). Dalam ayat-ayat tersebut diatas Allah SWT secara tegas
menjelaskan tentang akibat yang ditimbulkan kerena perbuatan manusia yang
mengekploitasi lingkungan yang berlebihan. Ayat-ayat Al-Qur'an ini sekaligus
juga menjadi sebuah terobosan paradigma baru untuk melakukan pengelolaan
lingkungan melalui sebuah ajaran religi, sehingga hak atas lingkungan adalah
hak bagi setiap umat di dunia. Selain itu, hak atas lingkungan sebagai hak
dasar manusia juga telah menjadi kesepakatan internasional melalui butir-butir
Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diratifikasi sebagai kesepakatan bersama.
Dalam hal ini termasuk baik yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun dalam undang-undang lain yang bersifat
parsial. Pentingnya upaya pengelolaan lingkungan hidup sudah sangat jelas
implikasi yang akan ditimbulkannya apabila tidak dikelola secara baik, yaitu
munculnya bencana, baik secara langsung maupun secara jangka panjang. Dalam Islam
di kenal tiga macam bentuk pelestarian lingkungan. Pertama, dengan cara ihya'.
Yakni pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh individu. Dalam hal ini seseorang
mematok lahan untuk dapat digarap dan difungsikan untuk kepentingan pribadinya.
Orang yang telah melakukannya dapat memiliki tanah tersebut. Mazhab Syafi’i
menyatakan siapapun berhak mengambil manfaat atau memilikinya, meskipun tidak
mendapat izin dari pemerintah. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, beliau
berpendapat, Ihya' boleh dilakukan dengan catatan mendapat izin dari pemerintah
yang sah. Imam Malik juga berpendapat hampir sama dengan Imam Abu Hanifah. Akan
tetapi, beliau menengahi dua pendapat itu dengan cara membedakan dari letak
daerahnya. Kedua, dengan proses igta'. Yakni pemerintah memberi jatah pada
orang-orang tertentu untuk menempati dan memanfaatkan sebuah lahan. Adakalanya
untuk dimiliki atau hanya untuk dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu.
Ketiga, adalah dengan cara hima. Dalam hal ini pemerintah menetapkan suatu area
untuk dijadikan sebagai kawasan lindung yang difungsikan untuk kemaslahatan
umum. Dalam konteks dulu, hima difungsikan untuk tempat penggembalaan kuda-kuda
milik negara, hewan, zakat dan lainnya. Setelah pemerintah menentukan sebuah
lahan sebagai hima, maka lahan tersebut menjadi milik negara. Tidak seorang pun
dibenarkan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya (melakukan ihya'),
apalagi sampai merusaknya.
Posting Komentar